Laman

Selasa, 19 April 2011

PENGARUH BEKAM TERHADAP PENINGKATAN SISTEM KEKEBALAN TUBUH : SEL LIMFOSIT T SITOTOKSIK



Wahyudi Widada, S.Kp., M.Ked.
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jember

PENDAHULUAN
Sel limfosit T (sel darah putih yang dibuat di kelenjar Timus) adalah sel di dalam salah satu grup sel leukosit (darah putih) yang diketahui sebagai limfosit  dan memainkan peran utama pada kekebalan selular. Sel limfosit T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan sistem kekebalan setiap kali tubuh terpapar patogen. Hal ini dimungkinkan karena sejumlah sel limfosit T “teraktivasi” menjadi sel limfosit T “memori” dengan kemampuan untuk berkembangbiak cepat untuk melawan infeksi yang dapat terulang kembali. Sel limfosit T sitotoksik (limfosit T pembunuh) merupakan populasi sel T  yang mempunyai fungsi pertahanan terhadap patogen intraseluler (Slayer dan Whitt, 1994).


Limfosit merupakan komponen leukosit agranular yang berperan dalam pertahanan spesifik. Disebut spesifik karena dilakukan hanya oleh sel leukosit limfosit, membentuk kekebalan tubuh setelah dipicu oleh antigen sehingga terjadi pembentukan antibodi. Setiap antibodi bersifat spesifik untuk antigen tertentu. Limfosit berperan dalam imunitas yang diperantarai sel dan antibodi. Pada semua limfosit dewasa, permukaannya tertempel reseptor antigen (penangkap benda asing) yang hanya dapat mengenali satu antigen. Saat antigen memasuki tubuh, molekul tertentu mengikatkan diri pada antigen dan memunculkannya di hadapan limfosit. Molekul ini dibuat oleh gen yang disebut Major Histocompability Complex (MHC) dan dikenal sebagai molekul MHC 1. MHC 1 menghadirkan antigen di hadapan Limfosit T pembunuh (limfosit sitotoksik), dan MHC II menghadirkan antigen ke hadapan Limfosit T pembantu (sel T helper). Sel limfosit T dibuat di sumsum tulang dari sel batang yang pluripotensi (pluripotent stem cells) dan dimatangkan di Timus. Limfosit T pembunuh (Killer T cells) atau limfosit T sitotoksik, menyerang sel tubuh yang terinfeksi oleh patogen (Abbas, et al, 1994)..
Sel limfosit T  sitotoksik mengandung granula azurofilik yang  berlimpah dan mampu menghancurkan berbagai sel yang terinfeksi, sel tumor, tanpa sensitisati (rangsangan) sebelumnya. Sel limfosit T  sitotoksik ini diklasifikasikan sebagai sistem kekebalan tubuh bawaan yang merupakan lapis ketiga pertahanan tubuh terhadap berbagai macam serangan (Kumar, 2007).
Bekam merupakan metode pengobatan dengan cara mengeluarkan darah rusak akibat oksidan atau radikal bebas dari dalam tubuh melalui permukaan kulit (Sutomo, 2006). Bekam adalah metode pengobatan dengan menggunakan tabung atau gelas vakum yang ditelungkupkan pada permukaan kulit agar menimbulkan bendungan lokal. Pada bekam basah pembendungan dilanjutkan dengan pengeluaran darah (Qoyyim, 1994, Majid, 2009). Bekam merupakan cara pengobatan tradisional yang memiliki prinsip kerja mengeluarkan darah (blood letting) di area tertentu di punggung sehingga dapat menyembuhkan penyakit. Pada pelaksanaan terapi bekam yang dilakukan secara teratur terbukti dapat memberikan efek sebagai antioksidan yaitu menurunkan radikal bebas (Umar, 2008). Bekam merupakan suatu metoda pengobatan klasik yang telah digunakan dalam perawatan dan pengobatan berbagai masalah kesehatan seperti hipertensi, penyakit reumatik, sakit punggung, migren, gelisah atau anxietas dan masalah fisik umum maupun mental (Fatahillah, 2007, Umar, 2008).
Pembuangan darah (blood letting) seperti dalam cara kerja bekam ini terbukti dapat menjaga dan sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Kasmui, 2008). Sistem kekebalan dalam darah adalah tanggung jawab sistem humoral (cairan, darah) dan seluler (sel, jaringan), dalam hal ini sel limfosit T sitotoksik adalah sistem kekebalan tubuh dari seluler. Peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh bekam terhadap peningkatan sistem kekebalan tubuh seluler yaitu sel limfosit T sitotoksik (sel T pembunuh).

METODE PENELITIAN
 Penelitian ini tergolong jenis penelitian quasy experimental dengan menggunakan rancangan non random pre test-post test without control group design yang dilakukan terhadap manusia sebagai subjek penelitian.
Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember dengan waktu penelitian 8 bulan. Pemeriksaan darah dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Besar sample ditentukan Peneliti sebesar 20 orang.
Darah vena yang diambil di vena mediana cubiti untuk pemeriksaan sel limfosit T sitotoksik subjek penelitian, diambil dua kali yakni pada awal dan akhir perlakuan dalam rentang waktu 15 hari.
1) Subjek penelitian diberi penjelasan tentang tujuan penelitian dan teknis bekam, 2) posisi subjek penelitian tidur tengkurap, 3) Petugas menggunakan handschoen dan masker 4) Area yang akan dibekam diberi desinfektan, 5) Area yang dipilih yaitu titik al-kaahil, dua titik al-katifain, dua titik di tiga jari median inferior scapula dan titik ‘ala warik, ditutup gelas bekam dan dipompa 2 kali tarikan, 6) Tunggu 4 menit kemudian gelas dilepas, 7) Kulit yang mengalami peninggian dilakukan penusukan 15 kali, 8) Gelas dipasang ditempat penusukan dan dilakukan pemompaan, 9) Biarkan darah mengalir dan mengumpul dalam gelas, 10) Gelas dilepas dengan cara dimiringkan, 11) Bersihkan kulit dari darah dengan menggunakan kasa steril, 12) Ulangi prosedur nomor 5-11 hingga 3 kali, 13) Area bekas pembekaman diusap disinfektan, 14) Tanyakan respon subjek penelitian dan observasi tanda-tanda vital, 15) Pembekaman selesai, subjek penelitian dirapikan.
Darah vena diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 2 ml menggunakan spuit 5 ml dan dimasukkan botol yang sudah diberi anti pembekuan EDTA. Setiap subjek penelitian dari kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol memiliki dua sampel darah yaitu satu sampel darah di awal pengamatan dan satu sampel darah di akhir pengamatan. Setelah data terkumpul dilakukan analisa data secara computerized dengan menggunakan  t-test, karena data yang diuji meliputi data numerik.



HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 5.7 Hasil pengukuran Sel limfosit T  sitotoksik di awal dan akhir perlakuan. 

Kelompok penelitian
N
Mean
SD
p value
Min
Max
Kelompok
Sel limfosit      T  sitotoksik
Awal perlakuan
20
34.56
4.75

0,000

24,65
41,36
Akhir perlakuan
63.26
7.41
51,26
86,35

Berdasarkan tabel 5.7 nilai Sel limfosit T  sitotoksik di awal perlakuan pada subjek penelitian sejumlah 20 orang  memiliki mean 34.56, SD 4.75, nilai  terendah 24,65, nilai tertinggi 41,36. Sedangkan nilai Sel limfosit T  sitotoksik  di akhir perlakuan memiliki mean 63,26, SD 7,41, nilai terendah 51,26, nilai tertinggi 86,35. Hasil paired-sample t-test didapat   p value sebesar 0,000 maka karena p < 0,05 dapat disimpulkan bahwa pengaruh bekam terhadap peningkatan system kekebalan tubuh seluler : Sel limfosit T  sitotoksik adalah  bermakna.
Terjadinya kenaikan yang signifikan pada nilai mean yaitu dari 34.56 menjadi 63,26 menunjukkan telah terjadi mekanisme peningkatan system kekebalan tubuh dalam hal ini adalah sel limfosit T sitotoksik. Leukosit limfosit telah secara nyata memperbanyak jumlah dan berpengaruh langsung terhadap kenaikan fungsinya. Artinya, kalau sel limfosit T sitotoksik meningkat berarti telah terjadi mekanisme pertahanan diri dari sel Limfosit untuk meningkatkan penghancuran sel-sel yang telah terinfeksi. Sel limfosit T  adalah sel di dalam salah satu grup sel leukosit yang diketahui sebagai limfosit dan memainkan peran utama pada kekebalan selular. Sel limfosit T  mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar patogen. Hal ini dimungkinkan karena sejumlah Sel limfosit T  teraktivasi menjadi Sel limfosit T  memori dengan kemampuan untuk berkembangbiak dengan cepat untuk melawan infeksi yang mungkin terulang kembali (Slayer dan Whitt, 1994).
Menurut Abbas, et al, (1994) bahwa mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh Sel limfosit T  untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel limfosit T  CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel limfosit T  sitotoksik   dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh Sel limfosit T,  terdapat Sel T  CD4+ dan Sel limfosit T  sitotoksik yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.
Bukti secara eksperimental menunjukkan bahwa pertahanan anti mikrobakteri adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau makrofag berperan sebagai efektor utama sedangkan limfosit T sebagai pendukung proteksi atau kekebalan (Abbas, et al, 1994). Sistem pertahanan ini spesifik karena dilakukan hanya oleh sel leukosit Limfosit, membentuk kekebalan tubuh, dipicu oleh antigen (senyawa asing) sehingga terjadi pembentukan antibodi dan setiap antibodi spesifik untuk antigen tertentu. Limfosit berperan dalam imunitas yang diperantarai sel dan antibodi (Abbas, et al, 1994).
Aktivasi sel limfosit T  memberikan respon kekebalan yang berlainan seperti produksi antibodi, aktivasi sel fagosit atau penghancuran sel target dalam seketika. Dengan demikian respon kekebalan tiruan terhadap berbagai macam penyakit diterapkan. Sel limfosit T  sitotoksik merupakan populasi Sel limfosit T  sitolitik yang mempunyai fungsi pertahanan terhadap patogen intraseluler pada binatang percobaan. Tidak seperti sel CD4+, Sel limfosit T  sitotoksik tidak menghasilkan IL-2 (interleukin-2) tetapi lebih tergantung pada sumber eksogen (Abbas, et al, 1994).                                                            
Sel limfosit T sitotoksik dalam meningkatkan system pertahanan dengan cara mengikutsertakan sistem pertahanan yang lain. Mengenal kembali material asing oleh sistem imun oleh dirinya sendiri, tidak selalu menghasilkan pengrusakan material tersebut. Sel dari sistem imun melepaskan messenger kimiawi (seperti sitokin) yang mengambil dan mengaktifkan sel lain seperti polimorf, makrofag dan sel mast atau sistem kimiawi (seperti komplemen, amine, kinin, dan sistem lisosomal) untuk menghancurkan material asing (Kumar, 2007).
Pada pembekaman, dimana terjadi bendungan lokal, stimulasi titik meridian, hipoksia dan radang, dapat memperbaiki mikrosirkulasi dan fungsi sel dengan cepat. Lima belas hari setelah pembekaman terbukti terjadi peningkatan elastisitas spektrin (Widada, 2010), dapat menstimulasi kerja system kekebalan tubuh : sel pembunuh alami (Natural Killer cells) sehingga daya tahan tubuh meningkat, baik sebagai pencegahan maupun perlawanan terhadap penyakit (Widada, 2010).
Ketidakseimbangan aktioksidan dan radikal bebas di dalam tubuh dalam kehidupan sehari-hari akibat terpapar zat kimia dalam makanan, polusi udara, pestisida, kuman penyakit, stress psikis dan lain-lain, disebut Stress oksidatif. Kondisi ini menyebabkan kadar oksidan (radikal bebas) menjadi meningkat dan bersifat merusak. Konsekuensi awal dari meningkatnya radikal bebas adalah gangguan oksigenasi pada mikrosirkulasi yang kemudian berimbas pada perubahan fungsi system sel. Biasanya kondisi ini diatasi dengan pemberian antioksidan. Namun karena system ini bersifat keseimbangan maka bila radikal bebas masuk kedalam tubuh secara terus menerus maka system pertahanan tubuh lama-lama menurun.
Meridian atau potent points merupakan suatu sistem saluran yang membujur dan melintang di seluruh tubuh yang secara kedokteran tidak terlihat nyata tetapi dapat dibuktikan keberadaannya dengan radioaktif teknesium perteknetat,  yang menghubungkan permukaan tubuh  dengan organ dalam tubuh, organ satu dengan organ lainnya, organ dengan jaringan penunjang-jaringan penunjang lainnya sehingga membentuk suatu kesatuan yang bereaksi bersama apabila ada rangsangan dari kulit (Madjid, 2009).
Menurut Majid  (2009), di bawah kulit, otot,  maupun fascia terdapat suatu point   atau titik yang mempunyai sifat istimewa. Antara poin satu dengan poin lainnya saling berhubungan membujur dan melintang membentuk jaring-jaring (jala). Jala ini dapat disamakan dengan meridian.  Dengan adanya jala maka ada hubungan yang erat antar bagian tubuh sehingga membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan dan dapat bereaksi secara serentak. Kelainan yang terjadi pada satu point dapat menular dan mempengaruhi point lainnya. Pengobatan pada satu titik juga bisa mengobati titik yang lain.
Menurut Syaikhu (2007) bahwa analisa laboratorium terhadap darah bekam didapatkan hasil sebagai berikut : 1). Jumlah sel leukosit di darah bekam hanya 10% dari jumlah sel-sel darah putih yang ada di pembuluh darah, ini menunjukkan bahwa bekam tetap menjaga unsur-unsur kekebalan (imunitas) tubuh. 2). Jumlah sel leukosit  meningkat dalam 60% kasus dan masih dalam batas-batas normal. 3). Jumlah sel leukosit pada penyakit paru meningkat 71,4% pada beberapa kasus.
Menurut Hana (2008) prinsip bekam sama dengan prinsip akupunktur dan akupressure. Pada bekam basah melibatkan pengeluaran darah sedangkan pada akupunktur dan akupressure menggunakan penekanan dan stimulasi pada titik tertentu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pengeluaran darah (blood letting) itu sebenarnya merupakan salah satu teknik akupunktur tertua. Terapi bekam dilakukan pada area tertentu yang memiliki kesamaan dengan titik meridian.

KESIMPULAN DAN SARAN

            Kesimpulan dari penelitian ini berisi tentang jawaban dari pertanyaan masalah yaitu     ada pengaruh bekam terhadap peningkatan system kekebalan tubuh : Sel limfosit T  sitotoksik. Jadi  pembuangan darah (blood letting) seperti dalam cara kerja bekam ini terbukti dapat menjaga dan sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh dalam sirkulasi darah adalah tanggung jawab sistem seluler dalam hal ini sel limfosit T sitotoksik.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka Peneliti menyampaikan beberapa saran.
1.      Saran untuk Peneliti selanjutnya
Banyak fenomena dari bekam yang belum terjawab. Peneliti menyarankan topik penelitian  berikutnya adalah hubungan bekam dengan sitokin dan mediator radang.  
2.      Saran untuk Petugas bekam
                       Lakukan bekam dengan prinsip menjaga universal precaution agar tidak terjadi penularan   
            nosokomial.
Postingan Terkait :


Widget by SEO Tutorial

7 komentar:

menone mengatakan...

weeeeeeee...... bahasa yg asing nich maklum ga ngerti masalah ginian hahahahahahahahaha....


salam persahabatan selalu dr MENONE

Abi mengatakan...

He..he... ini titipan mbak Menone, aku juga lagi belajar bahasa aneh ini...he..he

Anonim mengatakan...

apakah ada hubungan antara peyer patch dengan limposit t ???? trims dokter

Unknown mengatakan...

baguuus ath

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum Abi..tlong jlaskan pengaruh bekam terhadap peningkatan sistem imunity kita ....atas jwbnya sy ucpkn trimaksih

pojok kesehatan mengatakan...

share yang berguna untuk sya

cara membuat blog mengatakan...

kalo pengaruh untuk yang lain ada ga ?

Posting Komentar